Keterangan foto :
Mediasi TIM Hukum LBH LEKEM Kalimantan Muhammad Mahyuni Aslie (hem putih) Kapolsek Banjarmasin Barat (kaos kuning) diruang Kasat Intel Polresta Banjarmasin, Jum’at (4/8/2023).
Banjarmasin; kacatulisan.com // KUASA hukum ABH (Anak Berhadapan dengan Hukum), MG (17) yang dituduhkan (fitnah) tersandung kasus narkotika merasa tidak nyaman dengan adanya pernyataan Kapolsekta Banjarmasin Barat, Kompol Indra Agung Perdana pada Jumat siang (4/8/2023). Pasalnya kata Muhammad Mahyuni Aslie, pernyataan tersebut sangat menyudutkan kliennya dan memperkeruh hasil kesepakatan disaat pertemuan dengan Kapolsek Banjarmasin Barat tersebut di ruang Kasat Intel Polresta Banjarmasin pagi Jum’at pagi (4/8/2023).
“Seharusnya sebagai seorang muslim yang baik tidak mengingkari kesepakatan. Kami sangat berterimakasih dan merasa berbangga dikarenakan masih ada perasaan di hati beliau, berkenan merubah pasal yang semula pasal tunggal dituduhkan kepada klien kami Pasal 112 ayat (2) dirubah ke Pasal 131 UU No. 35 tahun 2009. Namun belum sehari beliau malah jumpa pers dengan mengatakan bahwa penyidik melakukan tugasnya sesuai prosedur,” kata Mahyuni yang diketahui salah satu Direktur LSM terkemuka di Kalsel, Lembaga Kerukunan Masyarakat (LEKEM) Kalimantan dalam Jumpa Persnya dengan sejumlah awak media disaat menerima pemberitaan yang di nilainya menyudutkan, Minggu (6/8/2023).
Mengapa Mahyuni merasa kliennya dizolimi? Pasalnya salah satu pemilik sabu isteri Eza tersebut yang tertangkap oleh polisi malahan dilepas dan dibebaskan dari persoalan hukum. Bahkan anehnya dijadikan sebagai saksi yang terkesan menyesatkan sehingga ada indikasi skenario bahwa klien kami lah pemilik dari sabu tersebut. Orang yang tak berpendidikan saja ngerti, yang seharusnya klien kami hanya sebatas saksi, karena mendengar dan melihat disaat penggerebekan polisi saat itu, kok malahan di jadikan tersangka, malahan pelaku yang jadi saksi. Hehehehe hebat dan proporsional sekali. Apakah ini bukan zalim namanya? biarlah publik yang menilainya sendiri,” cetus Mahyuni.
Mahyuni menegaskan, saksi yang di hadirkan penyidik adalah bagian dari tersangka utama yang ikut menyimpan sabu di atas plafond toko Nizam Cell tersebut. “Yang meletakkan sabu-sabu di atas plafond Nizam Cell tersebut adalah suami dari saksi ditemani oleh saksi sendiri. Bahkan saksi sendiri yang membawa anggota polisi ke Nizam Cell serta sesampainya disana saksi lah yang menunjukan bahwa sabu itu berada diatas plafond, walau klien kami berada di TKP Nizam Cell, itu kapasitasnya sebagai karyawan yang lagi bekerja di Nizam Cell tersebut. Oke lah klien kami ikut di tangkap, namun yang menjadi pertanyaan kami mengapa pemilik toko tempat sabu ditemukan tidak ditangkap juga. Kan demi keadilan janji Kapolsek dalam pertemuan dengan kita, harus menangkap suami saksi, menangkap kembali saksi dan menangkap pemilik Nizam Cell tersebut. Kalau tidak ditangkap maka ini jelas menjadi pertanyaan publik,” jelasnya.
Sebagai seorang aktivis LSM dan Penegak Hukum / Pengacara yang tergabung di LBH LEKEM Kalimantan, Mahyuni mengharapkan kepolisian Polsek Banjarmasin Barat harus menjalankan tugasnya dengan benar dan jujur serta profesional.
“Kalau ingin menegakkan hukum, maka mereka suami istri yang jelas-jelas pelaku serta juga pemilik toko Nizam Cell wajib di tangkap,” tegasnya.
Selama mereka bertiga ditangkap, maka itulah yang dinamakan penegak hukum yang sebenarnya. Selain itu seseorang menuduh sebuah perbuatan yang tidak benar, disebut apakah itu? “Jawabannya ada pada diri anda-anda semua. Jujur kami katakan, ada beberapa bukti pelanggaran kode etik kepolisian yang di langgar dalam memproses perkara ini, namun sesuai perjanjian dan kesepakatan dari hasil pertemuan semua itu kita tangguhkan dengan memandang perjalannya kedepannya saja yang kita jalani”.
“Saya berharap hubungan baik kita sesama penegak hukum dapat terjaga, dan jangan memperkeruh keadaan lagi. Kemaren kan sudah disepakati bersama kita sama-sama minta maaf dan Kapolsek pun meminta maaf atas kejadian ini,” ujarnya.
Mahyuni pun menegaskan kembali kesepakatan pertemuan dengan Kapolsek benar-benar dapat dipertanggung jawabkan, “Jangan khianati kesepakatan kita, selain memasukan Pasal tunggal Pasal 131, beliau menjanjikan menangkap segera suami istri pemilik barang dan si kakak Nya pemilik toko, karena apapun alasannya di kakak pemilik toko patut di sangkakan Pasal 55, 56 KUHP Jo Pasal 112 ayat (2) UU Narkotika No. 35 tahun 2009” kita akan beberkan dipersidangan nanti yang masih belum terungkap. tukasnya.
Senada juga, Pengacara Aspihani Ideris menegaskan bahwa negara telah menjamin perlindungan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum, baik proses penangkapan maupun dalam sistem peradilan, ini dilakukan demi menjaga harkat dan martabat anak-anak tersebut. Hal demikian bertentangan dengan sikap Kapolsek Banjarmasin Barat yang terkesan khianat dengan kesepakatan hasil pertemuan di Polresta Banjarmasin, Jum’at pagi (04/08/2023).
“Disaat pertemuan itu kita bersepakat, pihak kuasa hukum anak dibawah umur tidak melakukan Praperadilan terhadap Polsek Banjarmasin Barat dan penyidik pun atas perintah Kapolsek segera melakukan perubahan Pasal 112 ayat (2) menjadi pasal tunggal yaitu Pasal 131 UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika terhadap anak klien kami tersebut,” ujar Aspihani, Minggu (6/8/2023) saat diminta tanggapannya oleh media ini.
Menurut tokoh LSM Kalsel ini, sesuai dengan Pasal 18 KUHAP, saat melakukan penangkapan, kepolisian harus memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat perintah penangkapan serta tembusan surat perintah tersebut harus diberikan kepada keluarga yang bersangkutan dengan segera.
“Surat perintah penangkapan dan penahanan ini setelah dua hari anak tersebut dijebloskan dalam tahanan Polsek Banjarmasin Barat, baru surat itu di bikinkan. Ini menandakan mereka tangkap dan tahan dulu baru surat perintah di bikin, Heheheee, mantap !!! Dan seharusnya pula karena ini adalah anak dibawah umur, maka yang bertandatangan menerima surat penangkapan dan penahanan itu harus orang tuanya, ini malahan si anak yang bertandatangan. Intinya jika kita usut banyak hal kesalahan yang dilakukan oleh pihak Polsek Banjarmasin Barat.,” katanya.
Aspihani pun membeberkan dalam penggeledahan wajib memperlihatkan surat perintah penggeledahan dan ini tidak ada sama sekali. Padahal kata Ketua Umum Perkumpulan Pengacara dan Penasehat Hukum Indonesia (P3HI) ini, Pasal 33 KUHAP menegaskan, didalam melakukan penggeledahan harus memenuhi persyaratan diantaranya harus ada surat izin dari yang berwenang juga disaksikan oleh dua orang saksi bukan dari orang yang melakukan penangkapan, izin penghuninya tidak keberatan serta yang paling utama harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan setempat,” tuturnya.
Aspihani berkata lagi, guna melindungi kepentingan dan hak asasinya, anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak, namun jika belum memilikinya, maka si anak wajib di titipkan di lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial (LPKS).
“Penangkapan dan penahanan anak ini harus manusiawi, coba kita lihat Pasal 30 hingga Pasal 40 UU No. 11 tahun 2012 tentang pidana anak. Menurut UU ini, penangkapan terhadap anak dilakukan guna kepentingan penyidikan dan hanya ditahan paling lama 24 jam yang dihitung berdasarkan waktu kerja saja, namun terhadap klien kami ini malah lebih dari dua hari baru di BAP dan berbagai jebakan pertanyaan maupun jawabannya di ketik langsung oleh penyidik sangat menjebak pada poin 13, 18 dan 19. Jelas ini sebuah pelanggaran HAM dan perbuatan zalim,” kata Aspihani dengan nada tinggi.
Iapun menduga kuat, penyidik Polsek Banjarmasin Barat dalam melakukan pemeriksaan terhadap kliennya tidak termasuk dalam kualifikasi penyidik anak, dan ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 41 Ayat (1) UU Pengadilan Anak. UU ini menegaskan penyidikan terhadap anak wajib dilakukan oleh penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan surat keputusan Kapolri maupun pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri sendiri, tukasnya.
(bgs)
Tidak ada komentar